Menjaga Kehidupan dengan Menjaga Al-Qur’an

Menjaga Kehidupan dengan Menjaga Al-Qur'an Cinta Quran Center

Oleh:

Irfan Abu Naveed, M.Pd.I

Mudir Cinta Quran Center | Kandidat Doktor Hukum Islam

 

Al-Qur’an al-Karim adalah Kalam Rabb al-‘Izzah, diturunkan melalui perantaraan seagung-agungnya malaikat, Rûh al-Amîn Jibril a.s., kepada sebaik-baiknya insan, al-Mushthafa Muhammad ﷺ, turun secara keseluruhan ke langit dunia pada sebaik-baiknya malam, laylat al-qadr, dan tersurat dengan seindah-indahnya bahasa, bahasa arab. Itu semua semakin menambah bukti keagungan al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ {٤١} لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ {٤٢}

“Dan sesungguhnya al-Qur’an adalah sebenar-benarnya kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat [41]: 41-42)

Kalimat wa innahu lakitâb[un] ’azîz[un] diawali dengan dua penegasan (taukîd), lafal inna dan lâm al-ibtidâ’, menegaskan al-Qur’an sebagai Kitab Suci yang mulia dari Allah yang Maha Mulia, sekaligus menafikan pengingkaran dan keraguan terhadapnya (al-khabar al-inkâri). Al-Qur’an pun unggul dengan kedudukan agungnya: Petunjuk bagi mereka yang bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 2); Penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS. Al-Nahl [16]: 89); Penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Isrâ’ [17]: 82); Tidaklah al-Qur’an diturunkan, melainkan sebagai rahmat dari Allah (QS. Al-Qashash [28]: 86). Sebaliknya, kesesatan dan penderitaan bagi mereka yang mengabaikan al-Qur’an dan berpaling darinya (QS. Thâhâ [20]: 124).

Ialah al-Qur’an yang diturunkan kepada al-Mushthafa Muhammad ﷺ, dengan hikmah agung mengeluarkan manusia dari al-zhulumât kepada al-nûr:

الرٰ ۗ كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ لِـتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ۙ بِاِذْنِ رَبِّهِمْ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ {١}

“Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.” (QS. Ibrâhîm [14]: 1)

Dalam ayat yang agung ini, Allah menginformasikan hikmah diturunkannya al-Qur’an kepada Rasulullah ﷺ untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Allah meminjam istilah (al-isti’ârah) al-zhulumât (kegelapan-kegelapan) untuk menggambarkan berbilangnya jalan kebatilan dengan segala keburukannya, dan istilah al-nûr (cahaya) untuk menggambarkan satu-satunya jalan kebenaran, Din Islam, dengan segala kebaikannya. Menegakkan ajarannya adalah kemuliaan, berpegang teguh padanya adalah sebab keselamatan, Rasulullah ﷺ berpesan:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»

Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibn ’Abbas r.a.)

Keagungan al-Qur’an pun semakin terang benderang dengan adanya jaminan atas kemurniannya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ {٩}

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar pemeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Ayat ini menginformasikan bahwa Allah benar-benar memelihara al-dzikr (al-Qur’an) dari segala bentuk penyimpangan, ditegaskan keberadaan taukid huruf inna (sesungguhnya) dan lâm al-ibtidâ’ didepan kata benda hâfizhûn (pemelihara)[1], dimana bentuk ungkapan ini (ism: hâfizhûn) lebih kokoh maknanya sebagai “pemelihara” daripada bentuk kata kerja (fi’il: nahfazhu), menguatkan kepastian jaminan Allah atas kemurnian al-Qur’an.

Bertolak dari penjelasan di atas, relevan jika salafunâ al-shâlih memberikan keteladanan unggul berinteraksi dengan al-Qur’an, sebagaimana digambarkan para ulama, salah satunya al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Tibyân. Kitab suci yang mereka sikapi bagaikan risalah mahabbah dari Rabb al-‘Izzah, ditandari besarnya perhatian mempelajari, mentadaburi, mengamalkan, mendakwahkan, dan membela al-Qur’an dari segala bentuk penyimpangan. Ialah al-Qur’an yang disenandungkan Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H):

كالبدر من حيث التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى عينَيك نورًا ثاقبًا

كالشمس في كَبِدِ السماء وضوؤُها * يَغْشَى البلادَ مَشَارِقًا ومغاربًا

“Bagaikan rembulan kemanapun engkau berpaling memerhatikannya*  memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”

“Bagaikan matahari di langit dan sinarnya*  menaungi negeri-negeri di Timur dan Barat.”[2]

 

Keteladanan Salafuna al-Shalih

Keagungan al-Qur’an pun sangat berpengaruh dalam kepribadian salafuna al-shalih, dimana mereka menggariskan keteladanan terbaik memelihara al-Qur’an dengan membaca, mentadaburi, mengamalkan dan mendakwahkannya. Secara prinsipil Allah menggambarkan akhlak Rasulullah ﷺ adalah akhlak qur’ani:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ {٤}

Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki khuluq yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4)

Yakni akhlak al-Qur’an. Dari Qatadah, ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a. tentang khuluq­­-nya Rasulullah ﷺ., lalu ia berkata: “Sifat Nabi adalah al-Qur’an”, ia pun berkata: “Sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an.” ‘Aisyah r.a. berkata:

«كَانَ خُلُقُه القرآنَ»

“Khuluq Rasulullah adalah al-Qur’an.” (HR Ahmad)

Menjelaskan hadits di atas, al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) mengungkapkan bahwa beliau ﷺ berpegang teguh terhadap adab-adab al-Qur’an dan berbagai perintah dan larangan di dalamnya, terhadap ajaran-ajarannya yang mulia (al-makârim), berbagai kebaikan (al-mahâsin) serta kelembutan yang terkandung di dalamnya.

Secara praktis, Rasulullah ﷺ pun mencontohkan bagaimana beliau mentadaburi ayat-ayat Allah, dari Ibn ’Abbas r.a., ia berkata: “Suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, aku mendengar Rasulullah berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit lalu beliau membaca (QS. Âli Imrân [3]: 190):

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ {١٩٠}

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Âli Imrân [3]: 190)

Lalu beliau berwudhu dan bersiwak, kemudian shalat sebelas raka’at. Setelah mendengar Bilal adzan, beliau shalat dua raka’at kemudian beliau keluar untuk shalat shubuh.” (HR. Al-Bukhâri)

Hadits ini menggambarkan keteladanan Rasulullah ﷺ mentadaburi ayat qur’aniyyah dan ayat kauniyyah, menjadikan al-Qur’an sebagai panduan mentadaburi alam semesta, manusia dan kehidupan, hingga menguatkan keimanan, membuahkan sikap berpegang teguh padanya dan semangat mendakwahkannya. Keteladanan agung ini yang diikuti sahabat Rasulullah ﷺ, Utsman bin Affan r.a:

«لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»

“Kalau sekiranya kalbu kalian telah suci, maka kalian takkan pernah merasa cukup membaca Firman Rabb kalian (al-Qur’an).”

Yakni sangat senang membaca, mentadaburi, memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an. Dimana beliau pun menegaskan bahwa tiada waktu yang lebih ia cintai ketika tiba waktu siang dan malam kecuali digunakan untuk membaca al-Qur’an (mentadaburinya-pen.).[3] Kesenangan ini, menjadi modal utama menjadi golongan yang digambarkan dalam hadits dari ’Utsman bin ’Affan r.a., dari Nabi ﷺ bersabda:

«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»

“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari)

Meneladani mereka mengamalkan al-Qur’an, menegakkan Islam dalam kehidupan, adalah satu-satunya cara untuk menjaga kehidupan, menjemput era kebangkitan umat Islam, Abuya Al-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani:

فلو أنّ المسلمين (اليوم) عملوا بأحكام الفقه والدين كما كان آباؤهم لكانوا أرقى الأمم وأسعد الناس!

“Sekiranya kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.” []

 

 

[1] Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421 H, juz II, hlm. 237.

[2] Abu al-Qâsim al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I, hlm. 3.

[3] Ahmad bin Hanbal, Al-Zuhd, Dâr ‎Ibn Rajab, cet. II, 2003, hlm. 244.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Update lain

Logo Cinta Quran Center

CintaQuran Center merupakan Pesantren Tahfizh Al-Quran yang terintegrasi dengan Program pendidikan kaderisasi untuk melahirkan Da’i yang siap menggemakan kecintaan Umat terhadap Al-Quran.

© Copyright CintaQuran®Center All Rights Reserved.