Manusia, Perbuatan & Motivasi Perspektif Al-Quran
Oleh : M Gustar Umam, SS, Lc & Dr. Hamidullah Mahmud, Lc MA
Hakikat perbuatan manusia menjadi perdebatan mutakalimin apakah diciptakan manusia sendiri (free will) atau diciptakan Allah swt (fatalistik). Sedangkan dalam pembahasan fiqh perbuatan ditimbang berdasar halal – haram atau lebih rincinya dipandang dalam skala prioritas sehingga menjadi hukum yang lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Selain persoalan hakikat dan juga status hukum suatu perbuatan. Penting juga untuk dibahas motivasi dari perbuatan dalam perspektif Islam. Dari manakah kemunculan perbuatan, jenis motif apa saja yang melatarbelakanginya dan manakah dari jenis motivasi tersebut yang paling kuat mendorong suatu perbuatan. Inilah yang akan menjadi bahasan dalam artikel ini.
Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dengan berbagai keistimewaan yang membedakannya dari makhluk lainnya terutama sekali aspek akal bahkan keistimewaan manusia melebihi malaikat[1]. Ketika ditanyakan apa saja komponen dari diri seorang manusia? Maka akan banyak sekali istilah yang disodorkan antara lain manusia terdiri dari jasmani, naluri, akal, jiwa, hati dan lain-lain. Dalam pembahasan ini akan dibatasi pada jasmani, naluri dan akal. Tiga komponen ini menurut hemat penulis dapat menggambarkan asal muasal perbuatan serta motivasi yang melatarbelakanginya.
Dari Mana Datangnya Dorongan Perbuatan?
Jika kita kelompokkan dorongan segala perbuatan selalu akan kembali kepada dorongan jasmaniah dan naluriah. Jasmaniah artinya adalah dorongan yang bersifat kebutuhan fisikal seperti lapar, haus, mengantuk, dan buang air. Adapun naluriah inilah yang melahirkan perasaan. Berdasarkan penjelasan Muhammad Ismail,[2] naluri dibagi menjadi tiga naluri beragama yang memunculkan dorongan spiritual, naluri yang berkaitan dengan seks dan naluri baqo’ (eksistensi). Jasmani dan naluri memiliki persamaan yakni sama-sama mendorong untuk dipenuhi tetapi memiliki perbedaan-perbedaan. Berikut tabel yang menjelaskan persamaan dan perbedaan kedua komponen manusia tersebut.
Indikator | Jasmani | Naluri | |
Persamaan | Menuntut dipenuhi | ||
Perbedaaan : Aspek jika tidak dipenuhi | Dapat menyebabkan kerusakan fisik hingga kematian | Dapat menyebabkan kegelisahan, tidak langsung pada kerusakan fisik | |
Perbedaaan : Aspek asal stimulus | Dari dalam tubuh | Dari rangsangan luar tubuh | |
Perbedaaan : Aspek Penampakan | Lapar, Haus, BAK/BAB, Kantuk | Naluri Ketuhanan (Tadayyun) | Haus Spiritual |
Naluri Jenis (Nau’) | Suka lawan jenis, sayang terhadap ortu, ngak tega lihat orang kecelakaan | ||
Naluri Eksistensi (Baqo’) | Marah ketika dihina, ingin dibanggakan, ingin berkuasa |
Ayat-Ayat Al-Quran yang Menjelaskan Dorongan Jasmani dan Naluri
- Pemenuhan Dorongan Jasmani
Surah Al-A’raf (7:31)
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
- Ayat yang Berkaitan dengan Naluri Beragama
Naluri beragama secara umum tergambar pada kisah pencarian ketuhanan Nabi Ibrahim yang tergambar dalam ayat-ayat di bawah ini.
Surah Al-An’am (6:75-79):
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
“Ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi ketika bintang itu terbenam dia berkata, ‘Saya tidak suka kepada yang terbenam.’“
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
“Kemudian ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.’“
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah Tuhanku, ini lebih besar.’ Tetapi ketika matahari itu terbenam, dia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.’“
: إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Dalam kisah ini, Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa benda-benda langit, seperti bintang, bulan, dan matahari, yang muncul dan tenggelam, tidak bisa menjadi Tuhan karena sifatnya yang sementara. Melalui perenungan ini, Nabi Ibrahim sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, yang kekal dan tidak pernah lenyap.
- Ayat tentang naluri seks dan eksistensi
Surah Ali ‘Imran (3:14)
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَاۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
- Ayat tentang akal adalah alat petunjuk bagi pilihan perbuatan
Surah Az-Zumar (39:18):
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Alur Munculnya Perbuatan
Perbuatan manusia biasanya berawal dari dorongan jasmani atau naluri yang dirasakan dalam hati atau pikiran. Setelah muncul dorongan, manusia memprosesnya melalui akal untuk memilih apakah akan memenuhi dorongan tersebut atau tidak, serta bagaimana cara terbaik untuk memenuhinya. Jika dorongan ini diterima dan dirasa perlu untuk dipenuhi, maka akan muncul niat dan akhirnya diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Akal sebagai Filter Pilihan Perbuatan
Akal berfungsi sebagai filter dalam memilih perbuatan yang baik dan buruk. Dengan akal, manusia dapat mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan dilakukan, sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai moral. Akal memungkinkan manusia untuk menahan diri dari dorongan negatif dan memilih tindakan yang lebih baik, sehingga manusia dapat bertindak secara bijak dan sesuai dengan aturan agama. Oleh karena itu perbuatan manusia selain didorong oleh keinginan naluri dan jasmani, bentuk atau pilihan perbuatan akan sangat ditentukan oleh pilihan akal kita tentang baik-buruk & benar dan salah yang diyakininya.
Motivasi
Manusia dipastikan melakukan perbuatan jika tidak maka akan mati atau menuju kematian. Hanya saja kekuatan dorongan bergantung pada penilaian akal dan motiv yang mendorongnya. Inilah yang diistilahkan motivasi. Muhammad Muhammad Ismâ’îl[3] menyebut motivasi dengan istilah alquwwah, lebih lanjut beliau menguraikan bahwa motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktivitasnya terbagi tiga, antara lain:
- Motivasi materi atau kebendaan (al-quwwah al-mâdiyyah), yang meliputi tubuh manusia dan alat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.
- Motivasi emosional atau non-materi (al-qudwah al-ma’nawiyah), yang berupa kondisi kejiwaan yang senantiasa dicari dan ingin dimiliki oleh seseorang.
- Motivasi spiritual (al-quwwah ar-rûhiyyah), yang berupa kesadaran seseorang, bahwa dirinya mempunyai hubungan dengan Allah SWT.
Dalam konteks keislaman tentu motivasi yang tertinggi dan ideal adalah motivasi spiritual (al-quwwah ar-ruhiyah), mengingat bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang mengimani keberadaan Tuhan, yakni Allah Swt. Oleh karena itu landasan segala perbuatan selalu berlandasakan pandangan Islam (akidah & syariah). Artinya sebelum melakukan perbuatan wajib bagi muslim mencari status ajaran Islam (hukum Islam) atas setiap perbuatan tersebut apakah halal atau haram, jika halal apakah wajib, sunnah mubah atau makruh. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَۙ
“Maka, demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al-Hijr : 92-92)
Tiga motivasi inilah yang mampu mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan. Adapun pengaruh masing-masing motivasi tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Motivasi materi atau kebendaan, misalnya, mempunyai pengaruh yang lemah dan mudah dipatahkan. Sementara jika motivasi emosional atau psikologis (al-quwwah al-ma’nawiyyah) dibandingkan dengan motivasi materi atau kebendaan, hasil atau pengaruhnya lebih kuat, meskipun sifat motivasi ini juga tidak konstan dan tahan lama. Sebab, motivasi tersebut merupakan kondisi kejiwaan atau psikologis seseorang yang sangat temporal.
Berbeda jika motivasi yang dijadikan sebagai landasan tersebut merupakan motivasi spiritual, yaitu motivasi yang dibangun berdasarkan prinsip perintah dan larangan Allah SWT. Motivasi yang lahir dari kesadaran seorang muslim karena dirinya mempunyai hubungan dengan Allah, Zat Yang Maha Tahu seluruh perbuatannya, baik yang terlihat maupun tidak. Juga Zat Yang akan meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatannya. Kesadaran inilah yang mampu mendorongnya untuk melakukan perbuatan apa saja, meskipun untuk melakukannya dia harus mengorbankan jiwa, raga dan hartanya sekalipun. Inilah motivasi yang dapat mengalahkan segala-galanya.
Motivasi yang mampu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan apa saja. Bahkan, perbuatan berat seberat apapun mampu dilakukannya. Karena motivasi seperti inilah, maka seseorang tidak akan pernah merasa putus asa atau menyesal, ketika gagal atau telah mengorbankan semua yang dimilikinya. Motivasi ini juga jauh lebih kuat pengaruhnya dibanding dengan motivasi-motivasi sebelumnya. Juga bersifat permanen, tidak temporal dan konstan.[4]
Kesimpulan
Manusia akan senantiasa melakukan perbuatan apapun bentuk dan motif yang melatarbelakanginya. Dorongan perbuatan berasal dari naluri dan jasmani. Hanya saja dalam praktiknya perbuatan akan dipengaruhi oleh pilihan akal. Pilihan akal pun dari sisi kekuatan dan kelemahannya akan bergantung pada motivasi yang dipilih. Islam sebagai agama spiritual meletakkan motivasi ruhiah (spiritual) menjadi motivasi yang harusnya menjadi dorongan utama. Selain juga menjadi dorongan paling kuat. Wallahu a’lam.
[1] . Abu Ibrahim, Haikat Berfikir, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah) hal 1
[2] Muhammad Ismail, Fikrul Islam, (Al-Azhar Press) hal. 26
[3] Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik & Spiritual (Bogor: Al-Azhar Press, 2010), h.94.
[4] Ibid, h.97.