Konsep Wanita dalam Islam

Konsep Wanita dalam Islam

Oleh: Rizki Utami Handayani | Pengajar di Cinta Quran Center

 

Tidak akan pernah ada habisnya bila kita berbicara tentang wanita, telah banyak karya yang terlahir karena terinspirasi darinya. Keindahan dan kelembutan dunia lewat sentuhannya. Selalu dirindu dan dinanti menjadi pendamping setia hingga ke surga namun bisa pula menjadi fitnah dunia, ranjau tapi menawan.

Wanita, dalam KBBI berarti seorang manusia yang mempunyai vagina, biasanya dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, atau menyusui, kata lainnya adalah perempuan atau puan. Dalam terminologi Jawa wanita merupakan singkatan dari wani ditoto (berani dipimpin). Dalam bahasa Arab kata yang menggambarkan wanita lebih kaya lagi, seperti nisa’, qanitat, imra’ah, dan untsa’.

Terdapat ungkapan indah dari Buya Hamka yang menggambarkan sosok wanita yang luar biasa. Diantaranya yaitu wanita merupakan tiangnya negara, jika sebuah negara wanitanya rusak maka rusaklah negara tersebut dan begitu pula sebaliknya. Wanita adalah setengah dari masyarakat karena dari merekalah generasi terlahir.

Islam sebagai satu-satunya agama yang benar memiliki konsep yang khas dalam memandang wanita, tentu akan sangat berbeda dengan peradaban dan umat manapun. Islam adalah agama yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentu tidak terlepas dari kesempurnaannya dalam konsep tentang wanita. Islam datang memuliakan kehormatan wanita sehingga berada dalam posisi yang luar biasa, memberikan hak-hak yang sebelumnya tidak didapatkan oleh wanita serta memberikan peran dan tanggung jawab sesuai dengan fitrah yang melekat padanya.

Jika kita melihat pada masa sebelum risalah nubuwah Rasulullah saw yang mulia hadir di tengah-tengah manusia, maka kondisi wanita begitu mengkhawatirkam. Bayi-bayi yang berjenis kelamin wanita tidak diberikan kesempatan hidup, langsung dikubur hidup-hidup setelah lahir dari rahim ibunya. Entah bagaimana nalar berfikir masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu, dengan alasan rasa malu karena anak perempuan tidak bisa membawa nama keluarga, maka tindakan keji pun dilakukan terhadap bayi-bayi tidak berdosa itu.

Gambaran wanita di era pra-Islam yang digambarkan dalam Al-Quran, para wanita tidak mendapatkan mahar pernikahan yang seharusnya mereka dapatkan, bahkan sama sekali tidak mendapatkan mahar, tidak pula mendapatkan hak waris, menjadi seperti benda yang bisa dipusakai, maksudnya jika seorang wanita suaminya meninggal maka ia bisa diwariskan kepada yang lain. Dalam relasi perkawinan seorang wanita bisa diceraikan dan dirujuk kembali tanpa ada jumlah batasannya. Para wanita dilarang memakan sembelihan dari hewan yang lahir dari induknya kecuali dalam keadaan hewan tersebut mati, hal ini merupakan pelecehan terhadap kaum wanita.[1]

Setelah risalah Islam datang, kondisi wanita berubah drastis menjadi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Bagaimana Islam memuliakan wanita bisa tergambar dari apa yang disampaikan Rasulullah Saw menyampaikan dengan lisannya yang mulia,

“Sesungguhnya surga itu ada di bawah telapak kaki nya (Ibu).” (HR. An Nasa’i, Al-Hakim, Thabarani)

dan hadits lainnya yaitu:

“Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholilah.” (HR. Muslim)

Wanita tidak lagi menjadi warga kelas dua yang dipandang sebelah mata. Islam menjadikannya sosok yang mulia karena peranannya yang luar biasa dalam masyarakat. Peran utama wanita dalam konsep Islam adalah sebagai istri yang menjadi pendamping sekaligus sahabat bagi  suaminya serta ibu dari anak-anak yang dilahirkannya dan penanggung jawab urusan rumah tangganya, menjadi ratu di rumahnya.

Islam sudah memberikan keadilan kepada para pemeluknya dari awal mula kedatangannya. Kaum muslimin tidak memiliki masalah terkait pemenuhan hak-hak wanita. Dalam konsep Islam wanita memiliki hak dalam kepemilikan, hak untuk berpendapat, hak diperlakukan dengan baik oleh siapapun, hak kepastian hukum nafkah dari wali atau suaminya, hak untuk menuntut cerai jika rumah tangganya tidak memberikan kedamaian dalam kehidupannya hingga hak untuk mendapatkan pendidikan dan hak politik.

Pembagian peran antara pria dan wanita adalah sebuah keniscayaan dilihat dari bentuk fisik dan fitrah yang berbeda, maka sudah sewajarnya diberikan tanggung jawab yang berbeda pula. Hal ini bukanlah termasuk ke dalam konstruk sosial, namun keadilan yang semestinya, karena adil itu tidak harus sama, namun menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pria dengan perannya yang sudah digariskan syariat Islam sebagai ayah, kepala keluarga dan pemimpin, begitu pula wanita dengan peran yang sudah digariskan padanya sebagai ibu generasi serta bersedia dipimpin oleh laki-laki dalam perkara yang diharuskan oleh syariat Islam.

Menurut Buya Hamka, wanita memiliki bagian yang sama pentingnya dengan pria dalam memikul tanggung jawab beragama yaitu mengokohkan aqidah serta ibadahnya sehingga para wanita memiliki harga diri yang tinggi, yaitu munculnya ilham perjuangan. Surat dalam Al-Quran yang membicarakan tentang wanita, rumah tangga dan peraturan hidup, semuanya meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa kaum wanita bahwa mereka tidak disia-siakan. Wanita di dunia bahkan bisa mendapatkan kedudukan yang lebih mulia dari bidadari surga, mereka akan masuk surga karena amalannya, shalihahnya, shalatnya, pengorbanan untuk anak-anaknya dan kesetiaannya kepada suami.[2]

Kedudukan seorang wanita yang menjadi ibu dan mengurus anak-anaknya bahkan ditegaskan keutamaannya oleh Rasulullah Saw, Bahzu bin Hakim bin Mu’awiyyah r.a. menuturkan dari bapaknya, dari kakeknya:

“Aku katakan: Wahai Rasulullah ﷺ kepada siapa aku harus berbuat baik?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Ibumu”, Aku berkata lagi: “Wahai Rasulullah ﷺ kemudian kepada siapa lagi?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Ibumu”, Aku berkata lagi: “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Kemudian Bapakmu, kemudian kerabat, lalu kerabat berikutnya.” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi, Al-Baghawi)

Kiprah wanita dalam rumah, adalah konsep pembagian peran dengan laki-laki yang ditekankan secara khusus dalam hadits Rasulullah Saw:

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim)

Tidak hanya berkiprah di dalam rumah, wanita pun bisa berperan di masyarakat menjadi Ummu Ajyal (Ibu Generasi) dalam rangka mengamalkan ilmu yang telah ia dapatkan. Bekerja sama dengan kaum laki-laki dalam membangun peradaban Islam. Para wanita ketika itu menempati posisi mulia karena ketaqwaannya, serta mencapai tingkat intelektualitas yang luar biasa, betapa banyak nama-nama muslimah yang tercatat di sepanjang perjalanan sejarah peradaban dalam tinta emas peradaban Islam.

Islam telah menentukan hak dan kewajiban wanita sesuai dengan fitrahnya. Menjadi salah satu bukti kasih sayang Allah terhadap wanita, membedakan peran dan fungsinya dengan laki-laki bukanlah sebuah ketidakadilan. Justru perbedaan peran dan fungsi merupakan tanda-tanda keagungan dari penciptaan Allah swt untuk menciptakan harmoni dan keserasian diantara keduanya:

“Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (TQS. At-Taubah [9]: 21).

Rasulullah Saw bahkan menggambarkan hubungan keduanya sangat erat dalam sabdanya:

“Sesungguhnya kaum perempuan semata-mata menjadi (bagaikan) saudara kandung kaum pria.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi)

Dalam bukunya yang berjudul Budaya Ilmu, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyatakan bahwa, peran wanita dan pria tidaklah harus selalu sama dalam dalam pembangunan masyarakat, yakni dengan mengukur bidang-bidang keilmuan yang digeluti, kitab-kitab yang dikarang serta penemuan yang dibuat. Peranan wanita jauh lebih penting dan lebih bermakna dari hal tersebut. Para ilmuan dan pembangun peradaban Islam yang hampir semuanya pria, tidaklah mungkin bisa berperan di masyarakat dengan maksimal jika tidak ada istri shalihah yang mendampinginya.[3]

Perempuan kurang lebih separuh masyarakat, paling dekat dengan anak-anak dan remaja, yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan membangun budaya ilmu dan tingginya peradaban manusia. Di era pra-modern, di sebagian besar masyarakat, peran wanita dalam membangun budaya ilmu sebagian besar bersifat tidak langsung yakni terbatas memberikan dukungan kepada suami dan anaknya yang laki-laki untuk terjun ke dalam bidang keilmuan. Pendidikan yang berada di sekitar rumah berkaitan dengan keterampilan dalam rumah tangga, karena pendidikan di era pra-modern mengharuskan melewati perjalanan yang jauh dan berbahaya.[4]

Dalam puncak peradaban Islam, wanita dikenal tidak hanya berkiprah di dalam rumah saja, namun berkontribusi dalam banyak bidang. Misalnya tokoh-tokoh ilmuan wanita seperti Lubna Al-Qurtubiyah yang merupakan pustakawan, Maryam Al-Astrulabi dengan astrolabe[5] hasil penemuannya, Maryam Al-Fihri dengan Universitas Al-Qarawiyin. Bahkan jauh sebelum itu para wanita di zaman Rasulullah saw telah banyak berkiprah dalam bidang keilmuan, seperti istri Rasulullah saw yaitu Sayyidati Aisyah ra, yang menguasai banyak bidang ilmu seperti ilmu Al-Quran, hadits, fiqih, syair, hingga ilmu pengobatan.

Serta para wanita yang ahli di bidang pengobatan, menurut Prof. Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul Health and Islamic Tradition:  Change and Identity. Bukalah hal yang aneh jika para wanita menguasai bidang kesehatan dan ilmu pengobatan, karena memang masuk ke dalam kurikulum pendidikan pada waktu itu. Bahkan ada buku khusus yang merupakan pedoman bagi wanita yang membahas tentang agama dan kesehatan.[6]

Terdapat pula para wanita yang menjadi ahli hadits di era emas peradaban Islam, seperti yang disampaikan oleh Dr. Mohammad Akram Nadwi dalam bukunya Al-Muhaddithat: The Women Scholar in Islam, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Al-Muhadditsat: Ulama Perempuan dalam Bidang Hadits. Ini merupakan gambaran bahwa Islam mengukur otoritas seseorang dalam ilmu bukan hanya semata dari jenis kelaminnya, namun semata-mata yang bersangkutan memang layak dan memenuhi kriteria ahli dalam suatu bidang tertentu.

Problematika Pemikiran tentang Wanita di Masa Sekarang

Seiring berjalannya waktu, masuk ke dalam era globalisasi yang di dalamnya sarat akan nilai peradaban Barat, atau lebih mudahnya kita sebut dengan westernisasi (pem-Barat-an). Berbagai hal yang berkaitan dengan wanita mengalami banyak perubahan. Bahkan kata perempuan menjadi diksi yang lebih disukai di Indonesia untuk memanggil seseorang yang memiliki jenis kelamin perempuan, karena konon kata wanita berkaitan dengan etimologi wani ditoto dan ini erat kaitannya dengan aroma patriarki menurut mereka para pengusung ide feminisme.

Terdapat banyak permasalahan di masa sekarang ini terkait dengan konsep wanita yang jika dilihat dari kaca mata Islamic Worldview. Berbagai pertentangan pemikiran konsep wanita terjadi antara Worldview Barat dan Islamic Worldview. Sebagaimana dikatakan dalam bukunya Samuel Huntington yang berjudul Clash of Civilization, bahwa memang pertentangan antara peradaban Islam dan Barat nyata adanya, bukan hanya sekadar mitos belaka.

Dr. Adian Husaini dalam bukunya yang berjudul Wajah Peradaban Barat mengemukakan tentang konflik abadi Islam-Barat, bahwa Syed Naquib Al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekulerisme, menyatakan bahwasannya konfrontasi atau pertentangan Barat dengan Islam telah bergerak dari level sejarah militer dan keagamaan ke level intelektual. Beliau menyampaikan bahwa konfrontasi Islam dan Barat bersifat permanen, Barat memandang Islam sebagai tantangan terhadap prinsip yang paling asasi dalam Worldview Barat. Kedatangan Islam menjadi tantangan paling fundamental terhadap pokok utama ajaran Kristen yang merupakan unsur paling utama dalam peradaban Barat.

Dimulai dari perjuangan hak-hak wanita, pemberdayaan wanita, kepemimpinan perempuan, peran perempuan, isu tubuh perempuan. Terutama kesehatan organ reproduksi yang kemudian melahirkan pemahaman derivatnya berupa pemahaman terkait childfree, waithood, alpha female, female genital mutilations (FGM), kebebasan perempuan dalam urusan penampilan, perjuangan melawan kemiskinan dan kejahatan seksual hingga marital rape.

Jika disimpulkan adalah perjuangan feminisme untuk hak-hak perempuan dari labelisasi domestikasi, anggapan glorifikasi peran ibu hingga isu intersextionalitas. Isu perjuangan para feminis yang mengusung ide kesetaraan gendernya ini sampai pada titik siapapun dia bisa mengklaim dirinya sebagai wanita meskipun dia berjenis kelamin laki-laki. Mirisnya yang demikian itu harus diakui dan dihargai atas nama kebebasan berekspresi.

Kritik terhadap Pemikiran Barat tentang Konsep Wanita

Jika kita mencoba menganalisa menggunakan kacamata Islam. Terkait berbagai pemikiran yang berkembang hari ini terkait isu perempuan maka tentu kita akan menyimpulkan bahwa permasalahan pemikiran yang terjadi masih berkaitan dengan worldview Barat yang merasuk ke dalam pemikiran kaum muslimin. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam karya masterpiece-nya Muqadimah, bahwa peradaban yang kalah akan mengikuti peradaban yang menang.

Perubahan dan perkembangan dan kemajuan dalam pengertian yang benar secara mendasar sejatinya adalah kesadaran untuk kembali ke jalan Islam kita.[7] Sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kemajuan oleh kalangan pengusung ide feminisme muslim dengan melakukan langkah rekonstruksi terhadap hukum syariah.

Menjadi hal yang sangat penting untuk memahami realitas ajaran Islam dan peradaban asing, karena pemahaman yang tidak lengkap akan menghasilkan kesesatan. Usaha cendekiawan muslim saat mengadopsi konsep feminisme ke dalam pemikiran agama Islam menunjukan pemahaman yang tidak holistik terhadap Islam dan Barat, hal tersebut menunjukan kemiskinan dalam memahami sejarah dan peradaban Islam.[8]

Penyebab dari berbagai masalah umum yang timbul di masyarakat adalah karena rusaknya ilmu. Untuk memecahkan permasalahan ini harus terlebih dahulu mengatasi masalah adab, karena tidak akan ada pengetahuan yang benar bisa ditanamkan tanpa adanya prakondisi adab di dalam diri seseorang yang mencari dan menerimanya. Merusak otoritas yang sah mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengenali dan mengakui kepemimpinan yang benar dalam semua bidang kehidupan. Maka pemecahan atas masalah ini akan ditemukan di dalam pendidikan sebagai suatu proses ta’dib.[9]

Problematika konsep wanita yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kebingungan ini jika dikaitkan dengan sebab-sebab umum adalah kesalahan terhadap pengetahuan atau ilmu, masalah yang mendasar adalah masalah pendidikann berupa kekurangan akan pendidikan Islam yang layak dan cukup.[10]Maka perlu dilakukan upaya-upaya agar pemahaman tentang wanita berdasarkan Islam yang benar perlu menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat. Bukan konsep wanita yang berasal dari Barat, atau konsep wanita yang sudah direkonstruksi oleh para feminis yang mengaku diri mereka muslim.

Pentingnya otoritas yang sah dalam seluruh bidang keilmuan Islam serta Islamic Worldview khususnya pandangan para ulama berkaitan dengan konsep wanita dalam Islam. Kita tidak perlu mengadopsi konsep wanita jenis baru yang ingin dibentuk oleh masyarakat Barat yang mirisnya kaum cendekiawan muslim banyak yang mengadopsi ide tersebut.

Para cendekiawan muslim yang membebek kepada arah pandang pemikiran Barat melakukan upaya liberalisasi terhadap Islam, salah satunya dengan cara melakukan berbagai dekonstruksi syariat yang berkaitan dengan wanita. Islam yang sudah menggariskan syariat yang luar biasa telah terbukti membawa wanita kepada kondisi terbaiknya, justru dituduh sebagai sumber keterpurukan wanita di era sekarang. Standar yang mereka gunakan tentu berasal dari Barat.

Para pembebek pemahaman Barat melontarkan tuduhan keji, mengatakan bahwa penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan wanita, mengandung aroma misoginis (benci terhadap perempuan), karena mayoritas ulama tafsir adalah laki-laki, sehingga dituduh memberikan penafsiran Al-Quran hanya melihat dari sudut pandang laki-laki, tidak mempertimbangkan pandangan wanita. Maka mereka berkesimpulan bahwa Al-Quran memang suci namun interpretasinya yang perlu di interpretasi ulang menggunakan metode tafsir hermeneutika, khususnya ayat -ayat yang berkaitan dengan wanita.

Karena peradaban Barat memiliki krisis identitas antara jenis kelamin, yakni wanita sibuk sebagai wanita, mencari identitas mereka yang terpisah. Masyarakat Islam, tidak seperti demikian seharusnya. Pribadi dalam masyarakat Islam, baik wanita maupun pria telah membentuk identitasnya dan mengakui takdir akhir mereka berdasarkan kepatuhan yang tulis terhadap kehendak Allah swt.[11]

Sudah seharusnya kita bersikap dengan penuh penghormatan, penghargaan, cinta serta kerendahan hati dan kepercayaan atas keilmuan dari yang memiliki otoritas tersebut. Para ulama yang memiliki otoritas tentu tidak bisa dibandingkan dengan seorang pun dari golongan modernis dan reformis di era kita, mereka memberikan kontribusi dalam hal keilmuan Islam dan Islamic worldview baik dalam bentuk analisa, penafsiran, serta ulasan individual.[12]

Jika pemikiran yang salah tentang konsep wanita di masyarakat dibiarkan, maka akan berdampak kepada kondisi masyarakat secara umum. Jika para wanita tidak lagi memahami fungsi dan perannya sesuai arah pandang Islam maka generasi manusia yang menjadi taruhannya. Terjerumus ke dalam ide gender equality, melandasi aktifitasnya kepada framework yang salah.

Gerakan yang berasal dari doktrin equality (persamaan) dengan segala hal di masyarakat pada akhirnya akan semakin menampakkan ciri-ciri budaya Baratnya daripada unsur kemanusiannya. Salah satu teori feminis (Feminisme Radikal), misalnya menuntut persamaan hak antara pria dan wanita dalam soal hak sosial dan seksual. Artinya kepuasaan dapat juga diperoleh dari sesama wanita, implikasinya wanita tidak harus tergantung kepada pria dalam soal kebutuhan materi tapi juga dalam soal kebutuhan seksual.[13]

Pendidikan akidah seharusnya mampu meluruskan ilmu. Pandangan alam Islam disini menjadi “kaca” pemilai. Konsep tentang Allah, konsep wahyu, konsep kenabian, konsep manusia, konsep alam, konsep manusia, konsep kebenaran, konseo otoritas dan lain-lain semestinya diajarkan sebagai landasan utama belajar ilmu-ilmu yang lain.[14]

Maka sudah seharusnya kita sebagai kaum muslimin percaya diri, dijauhkan dari gejala sydrom inferiority complex, serta tidak perlu melakukan menunjukan sikap defensif apologetic kepada Barat. Harus yakin terhadap konsep murni yang berasal dari Islam serta dari para ulama yang memiliki otoritas keilmuan dalam merumuskan serta mengadopsi konsep wanita dalam Islam. Sudah selayaknya sebagai seorang muslimah, menjadi model dari wanita-wanita yang memiliki kekhasan dalam berfikir, bertindak dan berperilaku berlandaskan Islamic Worldview. Wallahu’alam bi al-shawab.


[1] Abad Badruzaman, Protret Kaum Perempuan Pra-Islam dalam Al-Qur’an. QOF: Jurnal Studi Al-Quran dan Tafsir, 3(2), 89–110. https://doi.org/10.30762/qof.v3i2.1577, hal. 101-105.

[2] Buya Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, Depok: Gema Insani Press, Hal.7

[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah Islam dan Masa Kini, Kuala Lumpur: CASIS, 2019, hal 153.

[4] Ibid. Hal.87-88.

[5]Astrolabe merupakan sebuah perangkat komputasi analog astronomi yang umumnya digunakan sebagai instrumen multifungsi untuk melakukan prediksi, simulasi, navigasi, mengukur, menghitung, dan mengetahui posisi serta dinamika benda langit dengan lebih mudah dan juga teliti. “Secara umum, astrolabe ini digunakan untuk menunjukkan waktu siang maupun malam berdasarkan posisi benda langit seperti matahari dan bintang-dinukil dari https://itb.ac.id/berita/memahami-astrolabe-dalam-keilmuwan-astronomi/58494

[6]Fazlur ahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity. New York: The Crossroad Publishing Company, 1987, hal.79.

[7]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena: to The Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1974.

[8]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan, 2003, Hal.18.

[9]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalan Islam. Bandung: Mizan, 1980, Hal.76-77.

[10]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme. Terj. dari Islam and Secularism (Djojosuwarno, K. Penerjemah). Bandung: Pustaka, 1978, Hal.169.

[11] Ibid, Hal 113.

[12] Ibid. Hal 148-149.

[13] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis). Ponorogo: CIOS (Center for Islamic and Occidental Studies-Gontor), 2010, Hal 111-112.

[14] Kholili Hasib, Membangun Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Adab: Unida Gontor Press, 2016, hal.55.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Update lain

Logo Cinta Quran Center

CintaQuran Center merupakan Pesantren Tahfizh Al-Quran yang terintegrasi dengan Program pendidikan kaderisasi untuk melahirkan Da’i yang siap menggemakan kecintaan Umat terhadap Al-Quran.

© Copyright CintaQuran®Center All Rights Reserved.