Bercermin dari Kesabaran Para Pejuang Islam
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I. | Mudir Cinta Quran Center
Palestina berduka, kaum Muslim Gaza didera derita, namun kita dapati mereka beriman dan bersabar menghadapi rasa duka, meskipun dunia di bawah asuhan jahat Kapitalisme Global mengabaikannya, tidak lah kesabaran itu melekat pada mereka melainkan karena keimanan yang terpatri dalam dada, Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ»
“Sangat menakjubkan urusan orang beriman, seluruh urusannya baik, hal itu takkan terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapatkan kesenangan ia bersyukur, itu adalah kebaikan baginya. Jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar maka itu pun lebih baik baginya.” (HR. Muslim, Al-Thabarani)
Keteguhan kaum Muslim Palestina pun menjadi pembicaraan dunia, bahkan disambut dengan keislaman segolongan manusia, bagaimana tidak? Dari mulai anak-anak belia hingga orang dewasa dan tua renta, terbiasa membasahi lisannya dengan berzikir mengingat-Nya dan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an yang mulia, mengundang keberkahan, memenuhi perintah dalam ayat-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ {١٥٣}
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153)
Allah mengawali seruan dalam ayat ini dengan seruan kepada orang yang beriman, karena keimanan pada hakikatnya menjadi landasan atas kesabaran, al-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa kesabaran itu tergambar dalam upaya menyampaikan kebenaran, mengamalkannya, serta mampu menghadapi cobaan di jalan Allah, berhasil menjalani itu semua berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada penyimpangan, dan sikap lemah menghadapi itu semua (lihat pula: QS. Al-Baqarah [2]: 249, QS. Al-Anfâl [8]: 46), sikap berpegang teguh kepada Islam dalam menghadapi dan menyikapi kejahatan musuh merupakan gambaran dari kesabaran, betapa mulianya golongan dimana Rasulullah ﷺ bersabda:
«وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ»
“Tidaklah seseorang dianugerahi (oleh Allah) sesuatu yang lebih baik dan luas (kebaikannya) daripada kesabaran.” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
Bagaimana tidak? Kesabaran itu sendiri mencakup: (1) Kesabaran dalam menegakkan keta’atan; (2) Kesabaran dalam menahan diri dari keburukan; (3) Kesabaran dalam menghadapi ujian dari Allah. Dengan demikian, kesabaran menuntun pada kebaikan dalam setiap keadaan, relevan jika Allah menegaskan diri-Nya membersamai orang yang sabar (innallâha ma’a al-shâbirîn), benar lah ungkapan:
لَوْلَا حَوَادِثَ الأَيَّامِ لَمْ يُعْرَفْ * صَبْرُ الكِرَامِ وَلَا جَرْعَ اللِّئَامِ
“Kalaulah tiada bencana-bencana hari, takkan diketahui * kesabaran orang-orang yang terpuji, tidak pula kegundahan orang-orang yang tercela.”
Bercermin dari Keteladanan Para Pejuang
Kesabaran umat ini pun telah dicontohkan generasi terbaik umat ini, Allah gambarkan dalam firman-Nya:
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ {١٤٦}
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Âli ’Imrân [3]: 146)
Al-’Allamah al-Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwat al-Tafâsîr (hlm. 212) menjelaskan, yakni betapa banyak para nabi yang berjihad meninggikan kalimat Allah, dimana para ulama rabbani dan ahli ibadah yang shalih berjuang membersamai para nabi ini, hingga diantaranya mendapati kematian yang dinantikan (syahid). Namun tempaan kematian dan luka-luka tidak lah mengendorkan semangat mereka, melemahkan tekad di dada, tidak pula membuat mereka tunduk dan melemah di hadapan musuh, hingga meraih predikat wallâhu yuhibbu al-shâbirûn (Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersabar).
Itu semua tertoreh dalam lembaran sîrah NabiyuLlah al-Mushthafa Muhammad ﷺ dan para sahabatnya tatkala menghadapi persekusi kaum Kafir Quraisyi:
اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَـكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًا ۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ {١٧٣}
“(Yaitu) orang-orang (yang mena’ati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 173)
Ramadhan bahkan menjadi salah satu momentum terbaik yang mencatat perjuangan agung mereka, peperangan besar Badar al-Kubra’ yang terjadi pada 17 Ramadhan, dan peristiwa agung penaklukkan Kota Makkah dari Quraysyi (Fath Makkah) pun terjadi di bulan Ramadhan, karena mereka menyadari Ramadhan penuh dengan keutamaan, dan berjuang di di medan juang di bulan Ramadhan adalah sebaik-baiknya keadaan, Abu Hurairah r.a. berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
«موقفُ ساعةٍ في سبيلِ اللهِ خيرٌ من قيامِ ليلةِ القدرِ عندَ الحَجرِ الأسوَدِ»
“Kedudukan satu jam di jalan Allah lebih baik daripada menegakkan qiyam laylatul qadr di sisi al-hajar al-aswad.” (HR. Ibn Hibban, Al-Baihaqi)
Ketika mereka mendapati kematian di jalan Islam, maka itu pun kelak menjadi kebaikan bagi seorang mukmin tatkala didapati limpahan rahmat-Nya atas golongan yang Allah firmankan:
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ {٢٩}
“Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Ra’d [13]: 28-29)
Kebaikan yang juga melingkupi kaum mukmin di akhir zaman yang tak pernah menjumpai Rasulullah ﷺ namun mengimaninya, mendakwahkan dan membela risalahnya dari berbagai penyimpangan, dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah ﷺ: apakah thûbâ (kebaikan) bagi orang yang menjumpai dirimu dan beriman kepadamu?” Rasulullah ﷺ bersabda:
«طُوبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي وَطُوبَى، ثُمَّ طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي»
“Kebaikan bagi orang yang menjumpai diriku dan beriman kepadaku, dan kebaikan, kemudian kebaikan bagi orang yang beriman kepadaku, meskipun ia tidak pernah menjumpai diriku.” (HR. Ibn Hibban)
Lafal thûbâ yang diulang sebanyak dua kali bagi orang yang tak pernah berjumpa dengan Rasulullah ﷺ namun mengimaninya, merupakan penegasan (tawkîd) atas keutamaannya. Al-Syaikh Ahmad al-Maraghi (w. 1371 H) dalam Tafsîr al-Marâghî (XIII/101) berkata:
أي إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات لهم الفرح وقرّة العين عند ربهم، وحسن المآب والمرجع. وفى هذا من الترغيب فى طاعته، والتحذير من معصيته، ومن شديد عقابه، ما لا خفاء فيه.
”Yakni mereka yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka kebahagiaan dan penyejuk mata di sisi Rabb mereka, dan baiknya tempat pulang dan kembalinya, dan di dalam ayat ini terdapat dorongan untuk mena’ati-Nya, dan peringatan atas bermaksiat dan besarnya siksaan-Nya, apa-apa yang tidak ada kesamaran di dalamnya.”
Ketika ia kembali kepada-Nya sebagai jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthma’innah) (lihat: QS. Al-Fajr [89]: 27-28), maka ia mendapati keridhaan-Nya, dianugerahi jannah-Nya, dan ketika itu lah seorang muslim mendapati masa rehat. Ibn Abi Ya’la (w. 526 H) dalam Thabaqât al-Hanâbilah (I/293) menukilkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang ditanya seseorang: ”Kapan seorang hamba bisa beristirahat wahai Imam?” Imam Ahmad menjawab:
«عندَ أَوَّلِ قَدَمٍ يَضَعُهَا في الجَنة»
”Ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di Jannah-Nya.” []