Benarkah Masjid Layak Menjadi Rumah Besar Humanisme?
Catatan Ust. Irfan Abu Naveed, M.Pd.I (Mudir CQC)
1. Selain sebagai rumah ibadah umat Islam, benarkah masjid juga bisa dijadikan rumah besar untuk kemanusiaan?
Jawab:
Masjid, pada prinsipnya adalah rumah ibadah umat Islam dan pusat bagi syi’ar-syi’ar Islam, bukan syi’ar bagi ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Islam (kekufuran dan kebatilan) mengatasnamakan kemanusiaan. Bahkan Allah berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ ١٨
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Tawbah [9]: 18)
Dalam ayat ini, Allah justru mengkhususkan (qashr) masjid dimakmurkan hanya oleh orang-orang yang beriman dan beramal shalih, mengisyaratkan bahwa masjid memang dipenuhi oleh seruan keimanan dan amal shalih itu sendiri, bukan keyakinan dan amal perbuatan yang bertentangan dengan Islam, karena orang-orang yang beriman dan beramal shalih tentu tidak akan menyi’arkan apapun di masjid kecuali keimanan dan amal shalih.
Lantas, bagaimana mungkin masjid diisi dengan syi’ar-syi’ar di luar Islam seperti syi’ar Yahudi dan Nasrani misalnya, yang justru bertentangan dan menyalahi syi’ar Islam itu sendiri? Ingat, jauh-jauh hari Rasulullah ﷺ bersabda memperingatkan:
«لَتَتَّبِعنَّ سنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ»
“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga mereka masuk lubang kadal gurun pun sungguh kamu mengikutinya.”
Para sahabat lantas bertanya:
يَا رَسُولَ اللهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟
“Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?”
Rasulullah ﷺ menjawab:
«فَمَنْ»
“Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
2. Benarkah humanity is one atau kemanusiaan itu adalah satu?
Jawab:
Humanity is one itu turunan dari filsafat humanisme yang menjadikan akal pikiran sebagai standar perbuatan manusia. Klaim semua manusia sama dan setara adalah klaim absurd, bertentangan dengan realita adanya perbedaan manusia pada aspek agama yang merepresentasikan perbedaan keyakinan dan cara beragama.
Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang delusi humanity is one, konsep dasar humanisme saja masih diperdebatkan penganutnya, gagal menyatukan penganutnya. madzhab Feuerbach yang mengklaim esensi manusia lebih mulia daripada Tuhan, karena manusia memiliki rasionalitas dan moralitas, berbeda pandangan dengan madzhab Stirner yang memandang sebaliknya, manusia tanpa esensi dan predikat. Lantas, bagaimana mungkin bisa menyatukan manusia mengatasnamakan satu kemanusiaan?
Memang benar Allah memuliakan Bani Adam, dalam hal apa? Dalam hal fisik penciptaannya, dengan wujudnya yang paling baik dibandingkan makhluk-makhluk lainnya (fî ahsan al-taqwîm), Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ٧٠
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 70)
Namun kaitannya dengan keyakinan dan amal perbuatan manusia, maka jelas tingkatan manusia berbeda-beda, ada yang mulia ada yang tercela, dicela Allah Sang Maha Pencipta, Allah misalnya mencela orang-orang yang kafir:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ٧
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya..” (QS. Al-Zumar [39]: 7)
Dan salah satu yang Allah vonis kufur adalah mereka yang Allah sifati:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ ٣٠
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. Al-Tawbah [9]: 30)
3. Bolehkah Muslim menjadikan kemanusiaan sebagai miqyasul a’mal?
Jawab:
Humanisme yang menjadikan rasio (akal) sebagai standar perbuatan, pada prinsipnya telah mempertuhankan akal manusia, paham absurd yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa manusia menjadikan akal manusia sebagai standar? Padahal realitanya akal manusia terbatas, dengan keterbatasan ilmu pengetahuan dan potensi pengaruh kecendrungan hawa nafsu, dan besarnya potensi perbedaan pemahaman manusia, maka dengan kelemahan seperti ini, tidak logis jika humanisme dijadikan sebagai standar kehidupan manusia.
Allah menciptakan manusia, Allah pun membekali manusia seperangkat pedoman hidup yang komperhensif dan sempurna mengatur segala aspek kehidupannya, karena Sang Pencipta lah yang lebih tahu tentang ciptaan-Nya, sehingga hanya aturan-Nya yang bisa dijadikan sebagai standar perbuatan manusia. Bukan hanya seperangkat pedoman, bahkan Allah hadirkan pula utusan-Nya yang menjadi guide manusia memahami dan mengamalkan secara praktis pedoman-Nya:
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ ١
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrâhîm [14]: 1)
4. Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap kemanusiaan itu sendiri?
Jawab:
Pada aspek keyakinan, humanisme pada hakikatnya tidak memanusiakan manusia, tapi mempertuhankan manusia; rasio dan moralnya, dan menganggap Tuhan hanya sebagai proyeksi pemikiran manusia, imajiner. Padahal pada diri manusia terdapat tanda-tanda nyata adanya Sang Pencipta, Allah Yang Maha Kuasa, karena tak masuk akal jika manusia bahkan seisi alam semesta dengan yang kompleks ada dengan sendirinya. Jika manusia dianggap nyata, bukan imajiner, tidak masuk akal ia diadakan oleh sesuatu yang imajiner.
Jelas, itu semua tercipta karena ada Sang Pencipta, Dia lah Allah al-Khâliq al-Mudabbir, meminjam istilah dalam ilmu logika, adanya ciptaan menjadi dilâlah sharîhah ghayr lafzhiyyah yang secara qath’i (pasti), menunjukkan adanya Sang Pencipta.
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ ٢١
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Al-Dzâriyât [51]: 21)
Pada aspek amal perbuatan, humanisme, menyuburkan dan tumbuh subur dalam habitat kehidupan sekularistik, memarjinalkan peran agama dalam mengatur kehidupan manusia, konsep ini, jelas bertentangan dengan konsep kewajiban menjadikan Din Allah sebagai aturan hidup, kullu mâ buniya ‘alâ bâthil[in] fabâthil[un] (segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka batil). []
Dukung Cinta Quran Center dalam mencetak Da’i Da’iyah Quran yang akan menyebarkan cahaya Quran ke seluruh penjuru dunia. Salurkan donasi terbaikmu melalui link berikut ini: https://syafa.at/re-paket-pendidikan.
Semoga kontribusi kebaikanmu menjadi amal jariyah yang akan mengantarkamu ke jannah-Nya. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin.