Budaya Literasi Para Pecinta Ilmu
Oleh: Rizki Utami Handayani, S.ST (Pengajar Cinta Quran Center)
Buku adalah jendela ilmu, buku adalah jendela dunia. Kalimat yang bisa jadi familiar di masyarakat, namun nyatanya tidak semua orang gemar membaca. Jika setiap orang ditanya, kapan terakhir membaca buku? Akan sangat beragam jawabannya. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Padahal membaca adalah salah satu kemampuan dasar literasi. Literasi itu sendiri dimaknai dalam KBBI sebagai kemampuan menulis dan membaca. Pengertian literasi dapat diartikan sebagai pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Literasi juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Kegiatan membaca buku oleh sebagian kalangan bisa jadi sudah ditinggalkan, karena sudah ada gadget dalam genggaman, dengan perkembangan teknologi hari ini, banyak orang yang lebih suka mendengar atau melihat video untuk mendapatkan informasi. Meskipun hari ini fisik buku hari ini sudah di digitalisasi yang bisa di akses melalui gadget, dan bisa jadi dianggap lebih praktis bagi sebagian orang dalam memperoleh informasi. Meskipun sebenarnya jika membaca di gadget akan sangat mudah sekali terdistraksi oleh hal lain yang ada dalam gadget tersebut. Kalam Allah yang pertama kali diturunkan kepada Baginda Rasulullah SAW juga merupakan perintah untuk membaca, “Iqra!Bacalah!” dalam Q.S Al-Alaq ayat 1.
Dalam khazanah sejarah Islam kita menemukan bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang berlandaskan pada ilmu. Peradaban ilmu sangat berkembang pesat terutama saat dimulainya produksi kertas dengan kualitas baik secara besar-besaran di masa keemasan Islam khususnya di era Kekhilafahan Abbasiyah. Kaum muslimin memang sudah mengenal kertas dari era Umayyah namun saat itu produksi kertas masih terbatas maka dari itu harganya mahal dan terbatas hanya untuk kalangan tertentu saja.
Di era Kekhilafahan Abbasiyah telah ditemukan teknologi yang lebih baik. Maka dari itu pasca ditemukannya kertas dengan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya, berdampak sangat besar terhadap masyarakat. Tersedianya kertas menjadikan pelayanan administrasi negara terhadap rakyat bisa lebih maksimal, perekonomian masyarakat juga ikut berkembang karena kerapihan pencatatan di sektor perdagangan, serta sektor pendidikan dengan kertas maka ilmu bisa dibukukan, dan bisa bermanfaat dibaca dari generasi ke generasi. Memudahkan kegiatan belajar dan mengajar. Buku-buku disimpan di perpustakaan-perpustakaan baik milik pribadi maupun milik negara. Pada abad ke 10 Masehi di dunia Islam telah memiliki koleksi 60.000 judul buku, hal ini terdapat dalam kitab Al-Fihrist karya An-Nadim. Di era itu perpustakaan dalam satu kota/wilayah tidak hanya satu, itu menandakan masyarakatnya yang literat. Haus akan ilmu. Bahkan tidak tanggung-tanggung kala itu Khalifah akan memberikan hadiah terhadap para penulis dengan emas seberat timbangan bukunya. Ini menandakan penguasa kala itu sangatlah menghargai dan mendukung aspek keilmuan. Kelengkapan literasi di dunia Islam merupakan penyambung dari peradaban masa lalu yang kemudian memajukannya dan mewujudkan dunia literasi tersendiri yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Peradaban Barat pun bahkan mengakui hal tersebut.
Baghdad yang merupakan ibu kota Kekhilafahan Abbasiyah pada abad ke 13 Masehi, kala itu telah memiliki 36 perpustakaan besar, lebih dari 100 penyalin, dan di Merv (kota kecil di Persia) sudah memiliki 10 perpustakaan besar dan memiliki koleksi buku-buku yang lux. Di era itu di perpustakaan memiliki fasilitas penginapan. Para ulama mereka menginap di perpustakaan untuk menyelesaikan penelitiannya, seperti Imam Al-Bahgdadi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi.
Para ulama sudah memberikan contoh kepada kita bahwasannya aktifitas menuntut ilmu termasuk membaca adalah hal yang sangatlah penting. Dalam buku Syaikh Ali bin Muhammad Al-‘Imran dengan judul asli Al-Musyawiq Ila Al-Qira’ah wa Thalab Al-’Ilm atau dengan buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Gila Baca Ala Ulama : Potret Keteladanan Ulama dalam Menuntut Ilmu, disampaikan betapa luar biasanya kegemaran mereka dalam membaca. Banyak kisah indah tentang gambaran kecintaan mereka terhadap aktifitas membaca. Buku ini sangat disarankan untuk dibaca para penuntut ilmu karena di dalamnya terdapat banyak hal yang inspiratif.
Pertama, terkait motivasi untuk selalu menambah dan mendalami ilmu. Dalam mencari ilmu, para ulama tidak mengenal batas akhir. Mereka bahkan mencurahkan segenap kemampuan dan tenaganya. Mereka pun menjadi teladan yang menakjubkan dan meninggalkan biografi yang unik. Contohnya adalah sosok Jabir bin Abdullah Al-Anshari . Dia menempuh perjalanan dari Madinah hingga Mesir selama satu bulan dengan mengendarai unta untuk mendengarkan satu hadits. Dia khawatir meninggal sebelum mendengar hadits tersebut. Hal ini patut menjadi teladan bagi kita para penuntut ilmu, prinsip bahwa tidak ada kata berakhir dalam menuntut ilmu adalah hal yang harus dijunjung tinggi.
Kedua, adalah kecintaan para ulama pada buku. Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm menyebutkan pilar-pilar penopang ilmu dalam Risalah Maratib Al-Ulum, salah satunya adalah memperbanyak buku, sebab tidak ada buku yang tidak bermanfaat dan tidak menambah ilmu yang bisa diperoleh seseorang, apabila dia memang membutuhkannya. Orang tidak akan mampu menghafal semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Apabila kenyataannya demikian, maka buku menjadi sarana penyimpan ilmu yang paling baik baginya. Seandainya tidak ada buku tentu hilanglah banyak ilmu dan tidak akan terpelihara. Salah satu kisah yang menarik berasal dari Imam Ibnul Jauzi yang telah membaca 200.000 jilid buku. Buku juga menjadi bekal ulama saat safar, contohnya Imam Muhammad bin Ya’kub Fairuz Abadi, meski buku-buku itu harus diangkut beliau tetap membawanya ketika bepergian. Bahkan disebutkan dalam kitab Raudhah Al-Muhibbin bahwa Abul Barakat, apabila hendak masuk ke WC untuk buang hajat, maka beliau menyuruh anaknya untuk membacakan suatu buku dengan bacaan yang keras agar dia bisa mendengarnya. Menjadikan membaca sebagai sebuah kebutuhan dilandasi rasa cinta terhadap ilmu tentu harus menjadi kebiasaan baik yang terus terjaga dari generasi ke generasi.
Ketiga, teladan ulama yang bisa kita ambil ibrahnya adalah perihal membaca buku tebal dalam waktu singkat, salah satu kisahnya adalah tentang Imam Adz-Dzahabi di dalam Syi’ar A’lam An-Nubala’ pada biografi seorang hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Hajri Al-Andalusi menyebutkan bahwa Al-Hafidzz Abu Abdillah bin Al-Abbar membaca shahih muslim di hadapan Abu Muhammad dalam enam hari. Sebagai insan pembelajar sudah seharusnya kita terus meningkatkan skill dan kapasitas membaca kita, semakin terampil maka semakin fokus sehingga faidah ilmu pun akan didapat dengan maksimal.
Keempat, membaca buku yang sama berulang berulang kali. Ada sebuah ungkapan yang sangat bermakna nasihat dari ulama, bahwasannya membaca satu buku sebanyak tiga kali lebih bermanfaat daripada membaca tiga buku dengan sekali baca. Contohnya adalah kisah yang disampaikan Abul Arab At-Tamimi menyebutkan sekilas tentang biografi Abbas bin Walid Al-Fasi di dalam Thabaqat Ulama Ifriqiyyah Wa Tunis, bahwa di bagian akhir beberapa buku yang dimilikinya tertulis “Aku telah mempelajarinya 1000 kali”. Terkadang kita hanya fokus kepada target agar menyelesaikan buku saja dan merasa cukup setelah menyelesaikan buku tersebut. Namun ternyata membaca buku lebih dari satu kali bahkan berkali-kali merupakan kebiasaan para ahli ilmu yang juga patut kita tiru.
Kelima, ketekunan dan kesabaran ulama dalam menyalin buku. Jika di era ini kita dapat dengan mudah mencetak buku dalam waktu yang singkat di percetakan buku. Berbeda di era para ulama terdahulu sebelum ditemukannya mesin cetak. Kegiatan menulis karya orang lain dengan tangannya sendiri adalah diluar kesibukan menulis karya pribadi mereka. Di dalam kitab Adz-Dzail tentang biografi Ahmad bin Abduddaim Al-Maqdisi disebutkan bahwa beliau bisa menulis khat dengan bagus cepat. Beliau juga menulis buku-buku besar yang tidak diketahui berapa jumlahnya, untuk dirinya sendiri atau sekadar untuk mendapat upah. Beliau juga pernah menyebutkan bahwa dirinya pernah menulis 2000 jilid buku dengan tangannya sendiri. Beliau menekuni tulis menulis ini selama 50 tahun. Dari hal ini kita bisa mengambil hal yang paling sederhana yang bisa kita amalkan yaitu jangan malas mencatat saat belajar. Karena selain meneladani kebiasaan orang-orang shalih dengan mencatat kita sudah mengikat ilmu, dan membuat kita tetap fokus saat belajar dan mencegah datangnya rasa kantuk.
Syaikh Ali bin Muhammad Imran juga mengingatkan bagi para pembaca untuk menyeimbangkan antara membaca buku sendiri dengan belajar dari seorang guru. Beliau menyampaikan sangat dianjurkan untuk menyeimbangkan dan memadukan antara metode pengambilan ilmu dari buku dengan pengambilan dari para ulama. Meskipun buku menyimpan banyak ilmu akan tetapi kunci-kuncinya ada pada para ulama. Semoga kita diberikan umur yang panjang serta ada dalam keberkahan ilmu. Karena masih banyak ilmu yang harus kita pelajari serta masih banyak amal yang harus kita kerjakan sebagai upaya mengembalikan kejayaan peradaban Islam, sebagai bekal menuju keabadian. Wallahu’alam bishowab.
Sumber Referensi :
- Materi Kelas Sejarah Pendidikan Islam Era Abbasiyah Hingga Saljuk bersama Ustadz Agung Waspodo, MPP
- Gila Baca Ala Ulama (Potret Keteladanan Ulama dalam Menuntut Ilmu) karya Syaikh Ali bin Muhammad Al’Imran