Al-Quran al-Karim adalah wahyu Allah SWT. Tidak mengimani fakta ini termasuk dosa besar. Sebab, siapa pun yang mengingkari al-Quran sebagai kalam Allah SWT berarti telah mengingkari sebagian besar bangunan akidah Islam. Bahkan meragukan kebenaran al-Quran saja sudah diancam akan dimasukkan neraka (QS Hud [11]: 17; al-Hajj [22]: 55).
Keimanan pada al-Quran haruslah total, mencakup ayat-perayat yang ada di dalamnya. Mengingkari satu ayat al-Quran telah cukup menjerumuskan seseorang dalam kekafiran (QS an-Nisa’ [4]: 150-151).
Sayang, saat ini tak sedikit dari kaum Muslim yang bersikap ‘diskriminatif’ terhadap al-Quran. Mereka bisa menerima tanpa reserve hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, dll. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan) sikap yang muncul berbeda. Ayat Kutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat Kutiba ‘alaykum al-qishâsh (diwajibkan atas kalian qishâsh) dalam QS al-Baqarah [2]: 178, atau Kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang) dalam QS al-Baqarah [2]: 216, muncul sikap keberatan, penolakan, bahkan penentangan.
Sikap ‘diskriminatif’ ini jelas terkategori dosa besar. Allah SWT menegaskan hal ini (yang artinya): Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dilemparkan ke dalam siksa yang amat keras (TQS al-Baqarah [2]: 85).